Resensi Buku "Jalan Raya Pos, Jalan Daendels"


Tema     : Sejarah

Judul      : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis   : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal      : 147 Halaman + 2 lembar sampul

“Indonesia adalah negeri budak. Budak diantara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain.” –Pramoedya Ananta Toer 

Buku ini adalah sebuah kesaksian tentang genosida (kejahatan) kemanusiaan paling mengerikan dibalik pembangunan Jalan Raya Pos atau biasa dikenal Jalan Daendels. Jalan yang membentang kurang lebih 1000 km sepanjang pantai utara Jawa, dari Anyer sampai Panurukan. Inilah satu dari sekian kisah kerja paksa terbesar sepanjang sejarah di Hindia Belanda.

Buku ini juga bercerita banyak tentang sejarah tempat yang dilalui Jalan Raya Pos. Saat membaca buku ini seakan pembaca juga diajak mencari refrensi buku lain yang terkait dengan sejarah daerah yang dilalui Jalan Pos. – (bukan tentang Jalan Daendels). Karena penulis menjelaskan lebih banyak sejarah daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa yang dilewati Jalan Raya ini daripada menjelaskan Jalan Raya itu sendiri. Seperti pada sub-bab Blora-Rembang, penulis menyisipkan sedikit sejarah penyerangan pertama Demak-Bintoro kepada Portugis di Malaka. Tapi dengan begitu pembaca akan mendapatkan sedikit wawasan dan memudahkan untuk mencari refrensi sejarah lainnya. Maka judul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels serasa kurang pas untuk buku ini, jika tidak hanya menguak sejarah ataupun cerita pembangunan jalan tersebut. 

Dalam buku, penerbit juga menyisipkan biografi singkat Herman Williem Daendels dan watak kerasnya. Dengan wataknya, Daendels menimbulkan banyak pemberontakan pribumi. Hal itu karena keikutsertaannya mengurus peraturan internal kerajaan/kesultanan serta kurangnya diplomasi dengan penguasa pribumi. 

Selain pemberontakan antara pihak Jendral Gubernur – kekuasaan tertinggi di Nusantara saat itu – pemberontakan juga terjadi di dalam kerajaan yang diawali dari hasutan pihak-pihak lain. Kejadian yang seperti ini jelas menimbulkan goncangan yang dapat meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil secara tidak langsung dan menjadikan pemerintahan Belanda menjadi penguasa mutlak di Nusantara. Sampai-sampai dalam penentuan raja pun Belanda yang menentukan, dengan kriteria tertentu pastinya. 

Di sistem politik era sekarang, kejadian semacam ini telah menjadi bumbu yang dipokokan. Seperti halnya dalam peralihan orde lama ke orde baru. Orang yang sebenarnya bapak revolusi telah dikambing-hitamkan karena dianggap menganut aliran kiri yang katanya, tidak sesuai dengan pancasila. Selanjutnya seorang mahapatih yang maju menjadi raja sebagai pahlawan yang membereskan krisis ekonomi. Tetapi pada akhirnya krisis ekonomi terselesaikan dengan tumbal rakyat sendiri dan berpindah menjadi krisis politik, budaya dan sosial yang juga berakibat pada krisis ekonomi. 

Maka wajib bagi warga Indonesia membaca asal-usul negara sendiri, setidaknya mengetahui jatidiri bangsa secara umum dan kesalahan dari masa-masa terdahulu yang masih terjadi sampai sekarang. Supaya kita tidak mudah dibohongi dengan iming-iming masyarakat yang sejahtera dengan bantuan uang. Karena jika sistem tidak dirubah maka sama dengan kita berjalan ditempat dan pancasila hanya akan menjadi mimpi.
Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment