Hidup adalah pilihan. Katanya, tapi apa kita diberi pilihan untuk dilahirkan dari rahim seorang ksatria atau paria, tidak bukan? Pastilah semua orang menginginkan kesejahteraan hidupnya maupun keluarganya. Bahkan ada banyak orang yang rela melakukan segala cara untuk mencapai kata sejahtera.
Jalan-jalan merupakan hal yang tidak asing lagi, bagi banyak orang jalan-jalan mungkin diartikan sebagai refresing. Tidak lagi untuk jalan-jalan kami sekarang, disini kami melakukan perjalanan untuk mengubah pola pandang kita terhadap orang lain supaya kami mengetahui permasalahan masyarakat terkini. Kota Surabaya tujuan kami. Bukan seluruh tempat hiburan disini tetapi hanya beberapa tempat yang telah ditentukan senior untuk pembelajaran kami.
Kota ini memang cocok untuk orang magang seperti kami, apalagi yang sedang butuh banyak pengalaman terutama dibidang sosial. Untuk kejutan, kita hanya diberi satu tempat dan beberapa tugas yang harus kami lakukan disana (yang awalnya kutahu hanya satu). Diawal perjalanan setelah matahari sedikit condong ke barat, kami jalan kaki untuk mencapai jalur angkutan umum menuju pelabuhan Kamal. Jarak beberapa meter dari kampus, aku merasa disinggung oleh seorang pemulung dengan pakaian compang-camping. Mungkin karena orang ini telah mengetahui perannya, orang ini seakan tidak mempedulikan orang yang lewat disekitarnya dengan hanya fokus terhadap sampahnya. Meski dia tidak digaji oleh pemerintah dia mau mengumpulkan sampah yang dia butuhkan untuk kebutuhan hidupnya. Padahal perannya sangat fatal jika ditiadakan, jika seorang pemulung atau tukang sampah tidak lagi mau bekerja seperti itu. Bagaimana tidak, bayangkan saja jika semua orang sudah merasa tidak pantas untuk bersinggungan dengan sampah apa bakal jadinya pulau ini, mungkin akan tumbuh pula gunung-gunung baru atau mungkin bangsa yang dikenal dengan 70% wilayahnya lautan berkurang menjadi 60% sebab tumpukan sampah yang tak terurus.
Bukan hanya orang-orang disekitar kami yang tidak peduli dengan keberadaan pemulung itu kamipun demikian. Jika aku harus peduli aku juga tidak tau bagaimana cara aku peduli terhadap orang itu. Dengan terus melangkah kami terus menjauh dari orang itu, semakin jauh aku melihat pemandangan lagi. Berkumpul mahasiswa-mahasiswi dengan memakai jas almamater keorganisasiannya. Mereka pun juga seperti aku, bingung dengan pedulinya terhadap orang yang tidak jauh dari tempat mereka berkumpul tetapi dengan tanpa sedikitpun memandang bapak pemulung.
Setelah dekat dengan mereka aku memperjelas pandangan dan pendengaran. Ternyata tidak lain hanya sekedar berkumpul dan mengobrol dengan teman masing-masing. Tidak jelas bagiku untuk apa perkumpulan mereka saat itu tetapi akupun juga tidak mau tau. Tidak jauh kemudian kami sampai pada jalur yang biasa dilewati angkutan umum. Lumayan lama kami menunggu akhirnya datang sebuah angkutan yang lumayan penuh. Karena kami terburu-buru tidak jadi masalah jika hanya duduk berdesakan sebentar.
Sampai di pelabuhan, kami segera menuju loket karcis untuk membeli 4 karcis dengan uang yang sudah kami kumpulkan kepada salah satu teman kami. Setelah semua karcis di tangan, kami langsung menuju ke kapal tanpa menunggu senior kami yang sedang berunding-mungkin untuk membeli karcis. Mengetahui kami yang berjalan tanpa pembimbing salah satu dari mereka segera menyusul kami. Lalu seorang pengemis kecil yang masih belum genap lima tahun umurnya-kiraku, meminta dengan agak memaksa dengan merengek dan mengikuti salah satu dari teman kami yang cewek. Karena temanku menolak untuk memberi, lalu anak itu berpindah ke teman kami yang lain hingga dia diberi uang.
Aneh aku pikir jika anak sekecil itu sudah mendapat keharusan mencari uang untuk makanannya atau malah untuk keluarganya. Tambah keraguanku terhadap kata ‘hidup adalah pilihan’ jika melihat pemandangan seperti itu. Apa memang benar dia punya pilihan, kalaupun punya aku yakin dia lebih memilih hanya bermain dengan teman-temannya di pelabuhan daripada harus bekerja. Meski ada perasaan iba, tetapi aku tidak memberi dia sepeserpun uang sebuah dosa tersendiri bagiku. Sebenarnya ‘dosaku’ itu beralasan, jika dia dipekerjakan orang lain orang itu akan mempekerjakan anak kecil terus-menerus sebab merasa diuntungkan.
Dengan yakin aku terus berjalan melewati anak kecil yang juga menjauhi kami setelah mendapatkan uang yang dimintanya. Sampai di kapal aku melihat beberapa orang yang kebanyakan telah pantas memiliki cucu tetapi mereka masih menghidupi dirinya sendiri. Lalu dimana semua orang yang telah berusia kerja? Jika yang bekerja hanya orang lanjut usia dan anak-anak. Mungkin mereka memiliki harga diri lebih tinggi dan menyerahkan pekerjaan semacam itu kepada orang tua. Entahlah!
Kapal sudah meninggalkan dermaga meski matahari tambah melengseng ke barat, tanda hari telah menjelang maghrib.sampai di pulau Jawa, kami segera mencari bis jurusan TP (Tunjungan Plaza). Sembari menunggu di dalam bis, aku melihat beberapa anak-anak kecil bermain di terminal yang terdapat di pelabuhan, mereka tampak senang begitupun orang tuanya, meski barang dagangannya tidak terlihat laku banyak, apalagi di kanan-kirinya terdapat pesaing yang juga terlihat akrab meski bersaing dibidang perdagangan tapi tak pernah nampak olehku mereka berebut pelanggan. Agak aneh bukan? Di toko-toko komersil, mereka seakan berebut pelanggan dengan tetangganya sendiri malah terkesan menjatuhkan usaha pesaingnya. Tidak seperti pedagang toko kecil disini, mereka terlihat percaya dengan kata ‘rezeki sudah diatur’. Betapa tawakkal orang-orang yang disini, tempat yang dianggap orang pergaulannya yang buruk. Tetapi pedagang yang disini malah menunjukan sifat religi yang tinggi dibandingkan orang-orang di kota yang menganggap dirinya beradab.
Setiba di TP, kami segera diberi pengarahan oleh senior yang membimbing kita selama perjalanan. Usai pengarahan dan penugasan kami langsung masuk ke gedung 10 lantai tersebut untuk segera menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Di dalam gedung megah itu, kami segera pencar berkelompok untuk mendapatkan data yang maksimal.
Pertama aku mencoba bertanya kepada salah seorang pengunjung yang masih muda, dia seperti orang yang curiga dan berusaha menolak berbicara denganku. Lelaki berkulit putih itu hanya menjawab dengan seadanya lalu beranjak pergi tanpa pamit. Sejak itu aku tidak lagi mencari narasumber yang muda dan beralih mencari orang dengan umur yang tidak muda dan terlihat bersahabat. Setelah keliling sebentar aku tertarik mencoba untuk bertanya kepada penjual yang masih muda dan elok dipandang. Lagipula kebanyakan penjual yang ada disini seorang yang muda dan rupawan serta memasang raut wajah yang terkesan pura-pura bersahabat.
Ternyata benar perkiraanku, kalau raut wajah penjual yang bersahabat hanya topeng untuk menarik pelanggan. Terbukti saat aku mencoba bertanya dia malah melemparkan pertanyaanku kepada satpam seakan tidak mau mendengarkan pertanyaanku selanjutnya dia langsung menghindar dari aku. Mungkin karena faktor materi dan rupa aku tidak dianggap oleh wanita penjual tersebut. Biarlah dia juga punya urusan yang juga belum aku tau.
Supaya tidak mengulur waktu aku segera mencari narasumber lain, karena kesulitan jika menghadapi penjual aku coba mewawancarai seorang pengunjung yang sudah cukup umur untuk dikatakan bapak dan terlihat ramah. Awalnya aku bertanya hanya sekedar basa-basi, ternyata memang orang itu ramah dan mau diajak berbicara. Hanya saja aku yang tidak tau seni dalam berbicara dan hasilnya pun kurang memuaskan untuk pengalamanku. Bapak berkumis itu hanya sempat menjawab hal-hal pribadinya.
Di tempat ini sangat berbeda dari pelabuhan dan kapal tadi. Disini kebanyakan tidak dijual oleh orang lanjut usia tetapi disini mengandalkan orang yang rupawan dan ‘sok ramah’. Menurutku, meski disini lebih nyaman dan bersih dari tempat-tempat di pelabuhan, tetapi disini mematok harga yang 4 kali bahkan 5 kali lebih mahal dari harga standarku dan tidak menjamin rasanya 4 kali atau 5 kali lebih enak dari standarku.
Tempat ini hanya mengandalkan sampul saja dan terbukti hanya beberapa tempat makan disini yang ramai dan banyak yang tanpa pengunjung meski terdapat seorang salesman yang mirip dengan pedagang asongan di kapal. Waktu kita telah habis setelah berkeliling hampir ke semua lantai di mal itu. Kita semua belum mendapat hasil yang memuaskan karena memang kita tidak pernah bergaul dengan orang-orang borjuis. Memang ini adalah tantangan bagi kami untuk berbaur dengan semua kalangan sosial tapi tetap saja kami belum mampu untuk memaksimalkan tugas ini.
Selesai tidak selesai kita harus kembali kepada senior yang menunggu kita diluar. Mereka menugaskan kita untuk ke tempat selanjutnya dengan dampingan mereka sekaligus target-target yang harus kami penuhi untuk tugas selanjutnya.
Taman Bungkul tujuan kita selanjutnya, yang pernah aku dengar tentang taman ini adalah terdapat makam salah satu waliyullah yang dimakamkan di sekitar taman. Memang aneh jika taman yang menjadi favorit para kaum remaja yang berpacaran atau sekedar nongkrong di tempatkan di sekitar area makam. Itu juga yang buat aku tambah penasaran.
Membutuhkan waktu sekitar 25 menit perjalanan dari TP ke Taman Bungkul menggunakan angkutan umum. Saat perjalanan jalanan diramaikan oleh beberapa komunitas sepeda motor dan beberapa pasangan muda yang seperti sudah menikah. Melihat hal itu aku baru ingat kalau hari ini adalah malam minggu, malam yang paling ditunggu seorang untuk berlibur. Tidak menciutkan mentalku hanya karena hal ini, malah aku ingin tau kota Surabaya jika malam minggu. Apalagi kami diwajibkan untuk mencari informasi tentang tempat yang kami datangi.
Sampai di Bungkul kami langsung berkeliling sebentar untuk mencari senior-senior kami yang telah menunggu. Hampir seluruh area taman sudah kami kelilingi tetapi tidak satupun dari senior kami tampak berada di taman. Setelah hampir 10 menit kami mencari akhirnya kami menemukan mereka berkumpul di daerah depan taman. Kami ditugaskan untuk mencari tau beberapa hal tentang Taman Bungkul serta tentang orang-orang di dalamnya.
Tidak menunggu lama kami seegera berpencar dan berkelompok seperti yang telah ditentukan. Aku dan temanku Rinda segera menuju ke makam Sunan Bungkul, karena menurut kami jauh sebelum taman ini ada pastilah makam itu sudah ada. Setelah masuk ke area makam aku langsung mencoba berbincang-bincang dengan orang disana tapi disana aku tidak mendapat jawaban yang diharapkan. Mereka seakan tidak ingin ditanya lebih jauh tentang taman ini, dengan menjawab alakadarnya saja.
Supaya tidak membuang waktu aku segera berpamit dan mencari sumber-sumber lain. Kami mencari sosok pedagang yang sudah terlihat lama berada disini untuk mengetahui tentang sejarah tempat ini. Sambil mencari kami melihat-lihat area taman ini, aneh memang tempat religi yang harusnya di hormati secara agama tetapi dibangun tempat semacam ini. Banyak kami jumpai beberapa remaja yang berpelukan dengan pasangannya dan beberapa dari mereka ada yang menggunakan busana mini. Mungkin saja cara hormat mereka berbeda dengan cara orang agamis.
Aku melihat sosok orang tua yang begitu kalem sepertinya orang itu cocok untuk dimintai sumber. Percakapan kami berlangsung lama, tetapi orang yang telah berkepala lima itu tampak senang bercerita kepada kami. Dia menceritakan banyak hal termasuk sejarah taman ini.
Tidak cukup hanya dengan satu sumber memuaskan, kami memutuskan mencari beberapa sumber lain untuk di evaluasi hasilnya. Pandangan kami tertuju pada sesosok ibu yang sedang bermain dengan anak-anaknya, segera kami mencoba bertanya-tanya tentang beliau dan keluh-kesah tentang taman ini.
Meski beberapa orang telah kami ajak berbincang tapi ada satu orang yang membuat aku puas dengan cerita-ceritanya. Seorang penjual muda, dia bercerita banyak sekali mulai dari masa kecilnya di taman ini hingga keadaan keluarganya yang lumayan rumit. Dari ceritanya aku berpikir panjang, ternyata hidup memang tidak selalu mulus. Masa kecilnya yang terampas kebahagiaannya karena tuntutan bekerja. Sedangkan aku hanya bersenang-senang dengan uang yang saat itu aku tidak tau datangnya dari siapa. Apalagi umur kita sama dan dia telah memiliki keluarga kecilnya. Kemana saja aku dari dulu, aku merasa sangat kecil di dunia ini karena belum tau apa-apa tentangnya dan aku tidak mencarinya sejak dulu.
Lama berkeliling kami memutuskan untuk menyudahi dan segera menemui senior kami untuk evaluasi. Data yang menurut kami sudah banyak ini ternyata masih belum memuaskan para senior. Untung saja disana kami juga mendapatkan pelajaran dari Mas Citra, untuk tidak mencari sebuah eksistensi berlebihan meski itu adalah kebutuhan manusia. Dengan eksistensi yang berlebih kita mungkin akan lupa diri dan tidak akan berkembang secara maksimal dalam berproses.
Usai sudah perjalanan kami mengelilingi Taman Bungkul lalu kami dipersilahkan untuk istirahat sejenak dan mengobrol santai yang bertepatan saat itu kami juga dikunjungi oleh salah satu alumni SM. Lama bercakap-cakap kami segera diajak untuk melanjutkan perjalanan yang tidak diberitahukan kepada kita sebelumnya.
Saat itu tengah malah telah lewat, tapi Kota ini masih sangat ramai dan menyenangkan. Duapuluh menit kami jalan kaki untuk sampai ke tempat yang sudah aku duga sebelumnya yakni Stasiun Wonokromo, tempat praktek prostitusi. Sampai disana aku merasa lega, karena tugas utama kita untuk masuk ke dunia pelacuran ternyata ditunda karena terdapat razia rutin.
Tidak lama aku merasa lega karena kami tidak harus mendapat perintah seperti itu senior kami memutuskan, agar kami mencari informasi lewat warung-warung disekitar stasiun. Disana aku mencari beberapa warung yang aman dari gerombolan preman-preman karena aku khawatir jika statusku diketahui mereka. Ada satu warung yang terlihat sepi, dengan satu orang tua dan satu anak muda. Aku beranikan diri untuk mendatangi warung tersebut dan mencari informasi tentang tempat prostitusi tersebut.
Lama aku ngobrol dengan bapak yang ada di warung berukuran 2x4 meter itu ternyata aku tidak berhasil mendapatkan informasi tentang tempat pelacuran tersebut. Mereka tidak membocorkan tempat itu supaya kami tidak mendatanginya karena saat itu aku mengaku siswa SMA.
Akhirnya aku putuskan untuk menyudahi percakapan kami dan menemui senior kami yang sedari tadi menunggu kami di depan untuk penugasan selanjutnya. Karena tempat pelacuran itu sudah ramai kembali, kami ditugaskan untuk mencari info kepada salah satu PSK dengan cara menawar harga yang telah mereka patok untuk dirinya. Karena aku tidak pernah mendatangi tempat seperti ini kekhawatiranku semakin tinggi dan aku memutuskan untuk tidak berkelompok karena dapat menimbulkan kecurigaan.
Setelah berkeliling sambil mencari sasaran, aku menemukan seorang wanita yang tidak terlihat wajahnya sedang merokok di salah satu rel kereta api. Aku mantapkan dan mengumpulkan keberanianku mendekatinya untuk meminjam korek, setelah dekat aku tatap wajahnya, memang dia tidak seberapa cantik tetapi dia mampu mengimbangi bahasaku yang tampak kaku. Kami berbincang lama sampai salah satu dari preman-preman itu mendekati wanita yang ada di sebelahku. Dia seperti memberi isyarat untuk menjauh dari aku dan memberi ancaman terhadapnya. Aku yang juga merasa terancam tidak berlama-lama disana supaya tidak mencurigakan, apalagi jika salah satu temanku datang mendekati aku, pasti dia juga dalam posisi membahayakan.
Untuk mengurangi resiko aku segera keluar dari area itu menuju jalan raya lalu menghubungi teman-temanku dari jauh. Aku baru ingat jika telepon genggamku sudah tidak bisa dinyalakan lagi karena kehabisan daya. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih karena bingung, untunglah temanku dari kelompok lain ada yang menuju jalan raya juga. Tanpa berpikir panjang aku segera meminta mereka agar segera menghubungi temanku supaya menuju jalan raya untuk menghindari area itu.
Tidak lama kemudian dia datang menghampiri kami dan di belakangnya tampak pendamping perjalanan kami yang merupakan senior kami juga. Dengan agak buru-buru kami segera diperintahkan agar ke tempat para senior kami berkumpul untuk evaluasi tugas kali ini. Pada evaluasi kali ini kami menceritakan satu-persatu apa saja yang telah kami dapatkan disana.
Setelah semua dari kami bercerita, kami di tugaskan kembali ke tempat selanjutnya yakni pasar Waru Sidoarjo. Disini kami diwajibkan untuk melihat-lihat sekaligus berinteraksi dengan orang-orang yang ada dipasar. Tidak jelas berapa menit perjalanan kesana, karena aku tidur saat itu untuk mengurangi pusing karena angin malam. Sampai disana kami berubah strategi, kami tidak lagi berkelompok melainkan kami berpencar untuk mendapatkan info yang lebih banyak.
Setelah semua penjelasan dirasa cukup kami segera berpencar hingga batas waktu yang telah ditentunkan. Pertama aku ingin mengelilingi tempat ini untuk mencari orang yang terlihat bersahabat untuk diajak bicara. Hampir tiga kali aku mengelilingi tempat yang sama, aku menyakinkan diri pada seorang wanita yang sudah cukup tua dan berjualan sendiri dengan barang dagang yang cukup banyak. Dengan lagak sok sopan aku duduk disampingnya dan menjelaskan maksud kedatanganku kepada beliau. Dengan ramah beliau mempersilahkanku, tapi tidak lama kemudian dagangannya menjadi sangat ramai, hal itu mempersulitku untuk menanyakan sesuatu.
Banyaknya pertanyaanku seperti membuat raut wajahnya berubah. Sementara aku hanya diam dan sesekali membantu karena khawatir jika orang itu tidak nyaman terhadap keberadaanku disini. Sesekali aku menanyakan sambil membantu untuk mengetahui sedikit tentang pasar meski ada rasa sungkan karena agak menganggu pelayanan terhadap pelanggannya. Begitupun pelanggannya mereka tampak aneh melihatku yang berpenampilan tidak seperti penduduk setempat, beberapa dari mereka juga menyanyakan ‘sinten niku mik?’ dijawab oleh penjual dengan tenang ‘yugo kulo buk, ganteng ya?’ sambil tertawa kecil melirikku. Lalu kami sedikit berbincang-bincang tentang kebiasaannya di pasar dan sedikit tentang kegiatannya diluar pasar. Tidak lama kemudian aku melihat salahsatu temanku berjalan keluar pasar bertanda waktu telah habis dan harus segera kembali untuk melanjutkan agenda selanjutnya.
Lalu aku mencari cara agar bisa segera menyudahi percakapan kami yang belum menemukan titik akhir. Dengan alasan yang aku buat-buat aku segera berpamitan tapi saat bersalaman beliau menyelipkan beberapa lembar uang kepada aku sambil minta maaf karena tidak bisa membantu banyak. Sebuah etika yang sangat berbeda jika dilihat dari segi budaya, antara pasar modern (mall) dengan pasar tradisional.
Memang setiap sesuatu mempunyai pengecualian tetapi jika dipandang secara umum aku dapat menyimpulkan perbedaan yang terlihat. Di pasar ini hubungan antara penjual satu dengan yang lainnya seperti seorang kerabat atau tetangga berbeda dengan di mall, disana para penjual akan mencari cara untuk menjadi yang paling laris diantara penjual lain.
Ketika evaluasi kami mendapat banyak hal dari salah satu alumni SM. Disana kami diajari untuk tidak memandang orang dengan ‘katanya’. Jika ingin menilai maka lihatlah dengan matamu sendiri, jika telah melihat maka pahamilah. Sebab dengan memahami kita tidak mudah menyalahkan orang dan memandang rendah orang lain. Usai evaluasi kami diajak ke tempat selanjutnya yakni Terminal Purabaya (Bungurasih).
Saat itu matahari sudah mulai terang dan kami belum juga mendapatkan waktu istirahat yang memuaskan. Kami membutuhkan waktu sekitar 15 menit untuk sampai di terminal dengan jalan kaki, sekaligus mencari para senior kami yang sudah menunggu disana. Tanpa mengelilingi terminal kami telah menemukan mereka di salah satu warung di pojok terminal. Saat penugasan kami ditegaskan untuk mengerjakan tugas lebih baik dari 4 tugas sebelumnya sebagai kelonggaran mereka memberi waktu tiga jam untuk memaksimalkan tugas kami. Tapi karena kelelahan kami hanya menggunakan sepertiga dari waktu yang telah ditentukan. Sehingga data yang kami dapatkan pun sangat tidak memuaskan karena pertanyaan yang kami gunakan untuk mencari sumber hanya pertanyaan yang menyangkut seputar terminal saja.
Kecewa sudah jelas, hanya karena kami ingin beristirahat semua yang diharapkan senior kami tidak terpenuhi. Akhirnya kami dipersilahkan istirahat sambil menunggu tamu dari Jogja yang juga salah satu anggota PPMI. Karena lama menunggu, aku tidur untuk menghilangkan keinginan yang sudah aku pendam sejak tadi. Dan baru aku tau bahwa kedatangan tamu dari jogja itu bohong untuk memberi waktu istirahat sejenak setelah semalam suntuk tidak tidur. Setelah semua dirasa cukup kami pulang dengan sedikit pengalaman yang seharusnya kami dapatkan di tempat-tempat liburan kami kali ini.
0 komentar:
Post a Comment