Wakil

”Fasilitas mewah harus terpenuhi untuk menunjang kinerja para wakil rakyat termasuk mobil, rumah dan pelayanan,” kata seorang sakit jiwa.

Orang berfikir sesuatu yang mewah pastilah nyaman. Padahal rasa nyaman dapat membuat seseorang abai pada kewajibannya. Namun, jika tujuan segala fasilitas itu untuk menunjang kinerja pemerintah, maka pertanyaannya: kinerja macam apa yang perlu ditunjang?

Kalau hanya masalah tepat waktu, di Jakarta seseorang lebih baik memakai sepeda motor karena tidak butuh banyak ruang di jalan raya. Sedang mobil, semewah apapun masih membutuhkan dua kali luas ruang yang dibutuhkan. Dan lagi-lagi soal fasilitas membuat saya bertanya: bagaimana bekerja dengan baik bila para dewan sering terlambat ngantor dan bahkan sering bolos? Kepentingan siapa yang mereka perjuangkan: individu dan golongan atau kepentingan rakyat?

Sebagai pribadi, kepentingan individu adalah lumrah. Tapi dalam konteks wakil rakyat, sikap mementingkan diri sendiri sangat merugikan rakyat selaku orang yang diwakili. Sebab, wakil rakyat adalah pengayom rakyat dan penyelenggara kepentingan bersama. Artinya kesalahan seorang wakil rakyat bukan hanya dia pribadi yang menanggung, tapi seluruh rakyat. Banyak orang beranggapan bahwa “keinginan” adalah salah sesuatu yang wajib dipenuhi. Padahal, seorang wakil rakyat yang benar-benar teguh dengan keinginannya dapat menjadi seorang yang ambisius. Sedang seorang yang ambisius akan mengupayakan keinginannya dengan segala cara.

Seharusnya, seorang wakil rakyat adalah orang yang mampu mengesampingkan kepentingan pribadi. Karena pada hakikatnya seorang wakil rakyat adalah pelayan bagi rakyat. Dan pelayan itu seharusnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Selain itu, wakil rakyat yang baik harus ikut menanggung beban hidup rakyat.

Sebenarnya wakil rakyat yang bisa berlaku layaknya pelayan, akan mendapat apresiasi rakyatnya. Tetapi sekarang, seakan wakil rakyat harus dipenuhi kebutuhan dan keinginannya tanpa harus memberikan pelayanan yang layak kepada rakyatnya. Bahkan tren saat ini, yang paling diutamakan adalah kebutuhan pribadi seorang wakil rakyat dan golongannya saja ketimbang kebutuhan rakyat. Sedangkan di lain pihak, untuk kebutuhan makan sehari-hari, banyak rakyatnya kerepotan.

Wakil rakyat layaknya sopir angkutan umum dan anggotanya adalah penumpang. Wakil rakyat mengantarkan ke tujuan yang diinginkan penumpang tetapi tetap pada jalur yang telah ditetapkan. Meski dia pemegang otoritas tertinggi tetapi tidak sah hukumnya menentukan tujuan tanpa persetujuan dari keseluruhan penumpang.

Wakil rakyat yang baik tidak mencalonkan tetapi dicalonkan. Dengan begitu, setidaknya dalam memilih antar calon wakil rakyat ada hubungan emosional antar calon wakil rakyat dan rakyatnya. Sehingga sedikit banyak terdapat beberapa orang yang mengenal betul pimpinannya. Dengan begitu, akan dapat diketahui mana yang paling layak menjadi wakil rakyat. Juga memilih seorang yang sudah benar-benar tercukupi segala kebutuhannya hingga tak ada keinginan untuk menambah kekayaannya lagi. Lalu, jika sewaktu-waktu terdapat kesalahan padanya dia akan mudah dibenarkan karena dia telah mendapat kepercayaan penuh sebelumnya. Selain itu, sebaiknya seorang wakil rakyat pernah merasakan kesengsaraan karena sewajarnya jika dia sudah pernah merasakan susahnya hidup sengsara maka dia tidak akan memberikan kesengsaraan pada orang lain.

Sebaliknya, jika calon wakil rakyat mencalonkan dirinya sendiri bukankah itu mengindikasikan bahwa dia telah yakin dirinya pantas memimpin. Sedangkan orang yang merasa dirinya pantas hanyalah orang yang sulit untuk berkembang. Maka dia tidak pantas memimpin.

Sistem yang Salah

Mungkin sebab kesalahan kecil dari sistem yang berlaku di Indonesia saat ini, menjadikan wakil rakyat kita selalu tidak bisa melakukan sesuatu yang maksimal. Karena, dalam sebuah pemilu, kita tidak benar-benar memilih calon wakil rakyat. Melainkan, semua calon wakil rakyat kita, adalah pilihan dari partainya masing-masing. Sedangkan partai yang boleh mengikuti pilpres hanya partai yang telah menduduki 25 persen kursi DPR. Dalam artian, kita dipilihkan calon yang akan kita pilih. 

Kenyataannya, partai hanya menjadi sarana pengumpulan massa dan pembaharuan bendera selain merah putih. Padahal, Indonesia sudah memiliki ideologinya, bendera, rakyatnya sendiri. Lalu mengapa harus perlu mendirikan partai-partai yang juga memiliki ideologinya, benderanya, massanya? Bukankah sama saja kita merelakan berdiri negara dalam negara kita?

 


Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment