Kelas tampak riuh ramai seperti biasanya, jam istirahat selalu membuat anak-anak tertarik untuk bermain sepakbola di halaman sekolah dan kejar-kejaran satu sama lain. Meski hari sedang terang dan panas seperti ini mereka seakan menghiraukannya. Bahkan kerikil yang sejak tadi terkena sinar matari pun mereka injak-injak dengan kaki telanjang tanpa ragu.
Sesekali saya amati mereka dari ruang kelas yang berada di atas mereka. Senang rasanya melihat mereka tertawa lepas, apalagi jika salah satu dari mereka beraksi konyol setelah mencetak gol yang sangat tidak berkesan. Saya juga ikut tertawa lepas melihat tingkah mereka, tapi kesenangan mereka lalu dibuyarkan oleh seorang tua yang biasa mengangkuti sampah di sekitar sekolah lewat di tengah lapangan seketika itu pula mereka berhenti tertawa dan membuka jalan untuknya. Inilah yang membuatku suka terhadap mereka, tidak ada seorang jompo pun yang dijadikan mereka guyonan. Mereka menghormati setiap orang tua, sebab bagi mereka orang tua adalah orang yang lebih lama hidup, maka pasti lebih pandai dari mereka.
Lalu secara tidak sadar saya seperti mengingat tapi melihat seorang tua yang sedang koma yang juga belum pernah saya temui sebelumnya. Dia layaknya orang tua pada umumnya. Rambutnya telah putih merata, begitu juga kulitnya yang keriput hanya di hiasi dengan bercak-bercak hitam tahi lalat yang terhitung banyak. Tubuhnya lelah, banyak disampingnya mesin-mesin kedokteran yang saya tidak tau namanya juga nama orang tua itu.
Dari sekitar, jelas ini bukan rumah sakit, tetapi seorang perawat wanita menggenggam semacam balon yang dihubungkan ke hidung pak tua itu dan ke tabung oksigen disampingnya. Sesekali dadanya mengembang saat perawat menekan balonnya dan mengempis setelahnya. Saat itu juga saya tau pak tua itu sudah tidak bisa bernafas sendiri.
Entah karena apa, saya mendengar suara orang tua. Awalnya saya kaget mendengarnya, sebab semua perawat adalah wanita. Juga terlihat olehku tidak ada seorang yang menghiraukannya, lalu kulihat lagi wajah pak tua itu untuk memastikan. Ternyata wajahnya masih tenang dan tidak berubah sejak awal saya melihatnya. Lalu saya coba untuk memotong ucapannya dengan pertanyaan, ”siapa itu? Siapa?”. Tapi percuma saja, suara itu seakan juga tidak mendengarku. Lalu aku dengarkan saja ucapan orang tua itu.
”Ampuni saya Tuhan, ampuni saya. Saya pikir dengan kerja keras saya sendiri saya akan bisa mengajari anak-anak saya mandiri dan dapat membuktikan bahwa dengan ketekunan bekerja seperti ini saya bisa sukses. Saya menyesal menjadi kaya seperti ini Tuhan,” suaranya putus-putus karena isaknya.
Suaranya hampir seperti menggema dalam ruangan ini tapi tetap saja, sepeti hanya saya saja yang mendengarnya. Tidak lama setelahnya saya dikagetkan dengan suara ribut diluar, terdengar seperti pertengkaran dan tangis seorang wanita dari salah satunya. Perawat yang sejak tadi terlihat mengantuk pun juga ikut terperanjat karena mendengarnya. Saya yang merasa asing ditempat itu segera mencari tempat untuk sembunyi yang bisa untuk melihat kejadian selanjutnya. Karena bingung saya tidak menyadari, suara orang tua itu juga ikut diam mengetahui suara ribut tadi mendekat. Setelah kudapati tempat sembunyi dibalik kelambu jendela yang cukup panjang, saya tidak mendengar pintu ruangan ini terbuka, tetapi suara ribut tadi tak kunjung menjauh malah rasanya mereka ada di depan ruangan ini.
”Jangan bertengkar terus, kasian bapak kalau mendengar kalian seperti ini,” sekali terdengar agak jelas suara perempuan yang menangis diluar melerai mereka.
”Dia sudah sekarat!” bentak seorang laki-laki, ”menghabiskan uang saja jika bapak terus seperti ini, tidak bakal dia akan hidup kembali, dimana-mana sudah tidak sanggup merawat dia,” ucapnya keras.
”Begitu kasar kau dengan bapak, aku telah jual mahar kawinku untuk bantu kau. Apa hartamu habis separoh karena bapak, ha?” balas lelaki satunya.
”Ini hasil keringatku sendiri, dia punya hasil keringatnya”
Sesekali masih terdengar tangisan perempuan tadi tanpa melerai.
”Siapa ajari kau bicara semacam itu?”
”Bapakmu”
”Kau akui bapak pun sudah tidak mau, lalu kau tuduh bapak bicara semacam itu?” balasnya geram
”Dia pernah berkata, hasil kerja kerasku akan aku nikmati sendiri nantinya,” jawabnya sinis.
”Dangkal sekali otakmu”
”Kau tidak salah bicara, ingat kau dulu kalau punya ibu dan adik?” dia menahan amarah hingga menangis ”Sudah terlalu manis hidupmu dan Ersa dengan uangnya.”
Samar-samar juga terdengar suara tangis orang tua itu ditahan dan akhirnya lepas juga sedannya. Ya Tuhan, ucapnya sambil terisak, ”tolong sudahi siksa seperti ini,” sejenak dia berhenti, ”tolonglah nak jangan melanjutkan kebodohan ayahmu,” ucapnya mantap, ”kalau saja kalian tidak ada yang kaya, tidaklah wajib kalian membiayai bapak.”
”Ya Tuhan izinkan saya berbicara dengan anak saya saat ini.”
Tidak terdengar olehku jawaban dari permohonan pak tua itu lantas dia tetap melanjutkan saja. ”Nak, menjadi kaya bukanlah sukses, kaya hanyalah jalan menuju sukses yang sejati.” Saya mencoba mendekat karena tertarik dengan ucapannya. ”Segiat apapun kalian mencari kebahagiaan disini, kalian tidak akan menemukannya. Kebahagiaan disini fana, tidaklah panjang umurnya, begitu juga kita.
0 komentar:
Post a Comment