Guyonan yang Tidak Lucu


Sudah lama saya berhenti menulis, beberapa alasan selain malas sempat terpikir, dan itu yang saya jadikan alasan utama saya berhenti jika ditanya. Tapi kali ini saya tidak akan memakai alasan apapun untuk menulis lagi kecuali perasaan yang entah apa namanya dalam diri saya setelah seorang teman dekat saya benar-benar pergi. Tidak lama sebelum saya menulis ini, saya membaca “Awal dan Akhir” karya Naguib Mahfouz yang baru saja saya hentikan pada bagian pemakaman ayah Hasan sebelum kabar kepergian itu datang. Orang bisa menilai itu sebuah pertanda, tapi tetap saja bagiku kabar yang tiba-tiba itu mengejutkan sekali.

Sebelumnya saya belum pernah merenungkan kematian sedekat ini. Meskipun sering memikirkan bagaimana rasanya jika tiba-tiba itu datang kepadaku saat tua nanti. Saya membayangkan itu seolah-olah saya akan hidup selama itu hingga terus-menerus mengejar hal-hal yang nantinya tidak akan berarti lagi ketika kematian datang. Dulu kau selalu menunjukkan kepadaku sesuatu yang baru kau pelajari, bahkan setelah kepergianmu kau masih mencoba menunjukkan aku sesuatu yang berharga berupa kesadaran. 

Beberapa tahun lalu, di awal pertemuan kita semua, teman-teman dengan perawakan ‘unik’, kau mungkin yang paling wajar perawakannya sehingga kami belum menemukan julukan yang pas untukmu. Hingga kami anak-anak nakal yang menamakan diri sebagai penemu nama binatang buas merasa gagal atas hal itu. Semoga kau mau memaafkan kami atas itu, juga atas kenakalan kami terhadapmu. 

Seingatku di antara banyak kenakalan kami yang kurang dewasa itu, kau salah satu anak yang tergolong dewasa, untuk tidak mengikuti kebiasaan kami yang menganggap kenakalan adalah wajar bagi laki-laki. Lalu satu persatu peraturan di pesantren kami coba langgar satu-persatu, dan kau tetap pada dirimu seolah sudah lebih dulu tau. Beberapa dari kami melompati pagar pesantren untuk sekedar ke warung atau main PS, sedangkan kau cukup ijin dan keluar dengan tenang lewat pintu gerbang. Seandainya tidak sengaja kau melanggar peraturan pesantren, dengan alasan apapun kau mudah sekali dipercaya oleh pengurus karena citra baikmu, tidak seperti kami. Kelaki-lakian kami memang konyol. Sering menyebut sebuah kerepotan adalah tantangan sebagai lelaki, padahal yang dibutuhkan tidak lain hanyalah kepercayaan, sedang yang kami lakukan adalah perjuangan yang tidak ada gunanya. 

Adakah sebelum kepergianmu, wajah-wajah kami serta kebodohan kami yang mungkin meringankan kepergianmu dengan sedikit tawa? Semoga saja ingatan tentang kami tetap kau bawa dan sekali-kali mendatangi kami untuk membalas guyonan yang belum sempat kau balas dulu. Apalah artinya bercanda jika kau tidak membalasnya, bukankah kita selalu belajar untuk bercanda?

Untuk Nuris
Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment