Kopi dengan Cinta

Sulit ditemui lagi seorang wanita yang mau membuatkan kopi di pagi hari sebelum suaminya bangun tidur. Meski sebenarnya bangun pagi bukan perkara mudah bagi siapapun. Seakan-akan kesetiaan seorang istri tidak lagi diukur dari kepatuhannya terhadap suami, tapi cukup dengan kemauannya untuk tidur satu rumah. Dengan omongan yang diumbar orang-orang bule tentang kesetaraan gender membuat wanita menjadi semakin sulit untuk patuh. Apalagi dengan suami yang sama-sama lulusan kampus pinggiran.

Itulah salah satu sebabnya saya tidak mengharapkan beristri seorang yang mengaji buku-buku bule. Mengetahui bahwa wanita diajarkan untuk merasa ditindas dan direndahkan derajatnya jika mau menuruti kemauan suaminya begitu saja. Termasuk membuatkan kopi. Dilihat dari kemampuannya membuat kopi kadang tidak semua istri mampu membuat lebih enak dari janda di warung remang. Namun saya sungguh tidak percaya jika wanita akan ambil diam mengetahui suaminya tidak absen di warung tiap malam. Kadang tuntutan wanita terdengar lucu jika menginginkan suaminya kerasan di rumah. Tapi ketika minta dibuatkan kopi malah menolak.

Saya tidak memungkiri, terkadang kopi buatan wanita memang tidak selalu enak. Tapi mengetahui kopi itu dibuatkan saat sedang dibutuhkan, bukan lagi enak tidak enak yang dinilai. Kadang kepekaan wanita dan ketulusannya yang menjadi tolak ukur laki-laki kerasan. Juga sebuah penghargaan tersendiri dengan pekerjaan suami yang tidak seberapa hasilnya.

Dalam buku-buku itu menjelaskan fenomena semacam itu sebagai dominasi laki-laki pada kebudayaan yang beredar saat ini. Padahal dalam sejarahnya, tidak ada satupun diantara dua gender ini mempermasalahkan kesetaraan seperti sekarang ini. Seperti saat Sinta yang menyebabkan dua kerajaan bertempur hebat karena memperebutkan dirinya. Atau ketika Tribhuwana Tunggadewi dilantik menjadi ratu Majapahit. Malah sebenarnya yang mendominasi adalah wanita, mengingat bahwa dengan segala sifat kewanitaannya dia patut untuk dipertahankan meski dengan perang.

Gender yang seharusnya mencakup kelamin dan kodrat, berubah menjadi sebatas konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat untuk memperkuat bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan sama dalam hal apapun. Apa yang coba dibentuk oleh buku-buku ini adalah ketidak-percayaan terhadap perbedaan hak. Jadi bukan sebuah kesalahan jika wanita berkata kasar terhadap suaminya, karena keharusan wanita berkata halus kepada suami hanyalah konstruksi sosial. Jika perkara suami membentak istri maka istri seharusnya membentak balik, sebab antara laki-laki dan wanita adalah sama.

Saya sempat membayangkan kejadian ini, jika seorang istri yang menganggap hak-haknya dikendalikan oleh konstruksi masyarakat. Dan menganggap bahwa kodrat seorang wanita adalah sama dengan laki-laki. Bagaimana gaya hubungan badan nantinya jika keduannya sama-sama menginginkan posisi diatas. Sedangkan dalam kegiatan ini memerlukan kekompakan khusus dengan tipe gaya apapun, dalam artian tidak ada kesamaan posisi.

Dalam kehidupan desa di hampir keseluruhan Jawa, saya kira tidak ada wanita yang mempermasalahkan kesetaraan seperti ini. Tidak seperti kehidupan priyayi di Jawa seperti era Kartini. Dalam kehidupan desa yang terbatas, seorang wanita tidak mempermasalahkan nyambi keja dan mengatur rumah tangga sekaligus. Jika terus menerus menolak tentang konstruksi masyarakat lalu siapa lagi yang akan mengerjakan perihal rumah tangga.

Pada hakikatnya konstruksi masyarakat tidak lain adalah semacam pembagian tugas dalam berumah tangga. Ibaratnya kewajiban seorang suami adalah melakukan segala hal dalam kehidupan rumah tangga, termasuk bekerja untuk keluarga dan bertanggung jawab atas segala hal dalam rumah. Sedangkan istri yang diibaratkan tulang rusuk hanya sebatas mendampingi bukan menopang atau bertanggung jawab. Mendampingi suami juga bisa berarti banyak seperti meringankan pekerjaan suami dengan ikut andil dalam sebagian kewajiban suami atau patuh terhadap suami. Memang dipandang dari segi apapun hal ini tidak bisa setara seperti kodrat seorang wanita yang bisa melahirkan dan laki-laki yang tidak. seperti halnya kodrat wanita yang bisa menyusui dan laki-laki tidak bisa, meski sama-sama memilki puting. Apakah hal semacam ini akan kita tuntut?


Di era sekarang yang mengukur kesuksesan berdasarkan gaji juga berdampak pada tuntutan yang berbeda dibandingkan tuntutan kesetaraan hak pendidikan yang dikoar-koarkan beberapa puluh tahun yang lalu. Karena jika wanita memiliki gaji lebih tinggi daripada suaminya, bukan lagi kesetaraan yang diharapkan, tapi dominasi dalam rumah tangga. Tidak lagi buat kopi untuk diri sendiri tapi, “buatin kopi mas”.
Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment