Buang Kotorannya Penulis


Menulis adalah hal yang tidak saya sukai sejak beberapa tahun lalu saya mengenal kepenulisan. Menurut saya menulis adalah hal yang paling tidak bebas, kita harus ditentukan oleh berbagai aturan sistematika atau hal semacam aturan menulis yang baik dan benar. Tapi anehnya saya selalu tertarik oleh gaya bicara seorang penulis yang unik – ketika tidak berbicara tentang kepenulisan tentunya. Itulah yang membuat saya selalu “terjebak” untuk harus menulis. Penulis manapun yang saya kagumi selalu saja menjurus pada perintah menulis.

Pada awal menulis saya salah sangka, menulis adalah hal yang paling bebas. Kira-kira Gus Mus pernah mengatakan ketika ditanya mengapa ia menulis “Sastrawan itu tidak pernah salah, pembacalah yang menyalahkan dirinya sendiri ketika tidak dapat memahami tulisan seorang sastrawan”. Sadar atau tidak, ada kebebasan menulis dalam perkataan itu. Apapun yang ditulis oleh sastrawan, sedikit banyak pastilah berpengaruh kepada pembaca. Orang sadar hal tersebut, “sastrawan tidak pernah salah” meskipun kadang beberapa pembaca mempunyai sudut pandang yang berbeda, tapi bukankah perbedaan itu bukan sebuah kesalahan?
Lama hidup dengan orang-orang yang bisa menulis dengan baik, saya mengerti kebebasan menulis ini baik untuk si penulis. Tapi bisa jadi tidak untuk si pembaca. Malah ada ungkapan “jika gelisah maka menulislah”. Si penulis senang-senang saja mempunyai teman berbicara meski dengan berbicara satu arah.
Terkadang dalam menuliskan kegelisahan kita seakan “diperas” baik rasa gelisah itu maupun ingatan-ingatan yang sebenarnya tidak penting untuk diingat. Tapi terkadang ingatan itulah solusinya. Itupun jika si penulis menemukan solusinya, jika tidak, bersabarlah pembaca kalau memang harus mengkonsumsi tulisan kegelisahan. Istilahnya menulis itu seperti buang kotoran, yang didapat si penulis dari mengamati atau sekedar membaca. Bisa jadi dari pengamatan terhadap keadaan sekitarnya penulis menemukan kejanggalan atau aturan yang membatasi yang menjadikannya gelisah. Biasanya seorang penulis adalah seorang yang mudah bosan, termasuk dengan aturan-aturan. Itulah penyebab dia menulis hal-hal yang sebenarnya adalah pelanggaran dalam kehidupan sosial. Seperti menggambarkan perasaan membunuh seseorang atau sekedar mengencingi gedung pemerintahan.
Masalahnya, jika menulis adalah pelampiasan kegelisahan, betapa sial nasib pembacanya. Apalagi jika memang tulisan itu berpengaruh bagi kehidupan pembaca. Dalam kasus ini, banyak juga kawan saya yang mengaku-ngaku dirinya sebagai Annelies usai membaca roman Bumi Manusia. Itu mungkin kasus yang tidak prinsipil, tapi anggap saja itu contoh kecil dari pengaruh tulisan.
Karya tulis adalah salah satu media yang dianggap paling berpengaruh akhir-akhir ini. Bahkan mungkin sejak manusia mengenal tulis-menulis. Membaca mungkin adalah pekerjaan paling mudah, pekerjaan itu cukup dilakukan disela-sela waktu, tidak butuh banyak energi untuk berpikir. Setidaknya banyak yang menganggap seperti itu. Tapi sadar atau tidak bahwa pembaca adalah yang penikmat. Seperti halnya makanan, apapun yang dimakan pasti akan berpengaruh terhadap tubuh atau bahkan perilaku. Jika tulisan adalah gambaran dari kegelisahan penulis, bukankah itu sedikit berarti sampah pikiran?

Membaca tidak sebegitu sederhana, membaca berarti mencerna, membaca juga berarti belajar memposisikan diri. Tidak asal menelan mentah-mentah suatu bacaan juga tidak menolak begitu saja karena berbeda dengan pendirian kita. Setidaknya seburuk-buruknya tulisan bisa kita ambil sedikit hal baik darinya untuk diri sendiri. Apakah kita lupa bahwa ilmu bisa datang dari mana saja, termasuk setan?

Dengan begini tulisan yang berpengaruh “liar” pada pembaca bisa sedikit diminimalisir. Pengaruh yang ditimbulkan tulisan saat ini biasa menjadi pengaruh baik maupun buruk. Jangan bilang bila baik dan buruk adalah relatif, itu adalah pikiran purba. Sejak jaman Sokrates kebenaran umum sudah ditetapkan layak adanya, bukankah begitu?


Jika tulisan berupa karya sastra narasi atau deskriptif berpengaruh, lalu bagaimana jika tulisan berupa puisi yang pembaca saja kadang tidak paham?
Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment