Recehan dan Do'a Naik Haji


Baru-baru ini surat kabar di Indonesia dihebohkan dengan datangnya bule yang mengemis. Kabarnya, orang-orang merasa iba melihatnya tidak bisa kembali ke negara asalnya, karena banyak yang iba banyak juga pendapatan bule ini. Lalu beberapa minggu kemudian orang mulai tau bahwa, pengemis yang beberapa hari sebelumnya sempat disorot oleh surat kabar ini ternyata membohongi mereka. Beberapa orang mulai percaya bahwa peraturan yang melarang mengemis itu ada benarnya juga.

Sebenarnya lucu juga melihat orang mengumpat karena rasa iba mereka. Bagaimana tidak, pengemis yang hanya duduk di pinggir jalan dengan memamerkan penyakitnya mereka anggap mengganggu ketertiban. Sebab beberapa pengendara berhenti dan mencoba membantunya. Lalu mereka merasa rugi telah membantunya, karena seperti yang diketahui, pengemis itu menggunakan uangnya untuk bersenang-senang. Bisa jadi mereka merasa rugi karena telah berempati a tau mereka merasa rugi karena telah bersimpati.

Aneh bukan, jika orang harus marah karena seharusnya mereka berempati karena sukarela. Wong pengemisnya saja tidak minta, dia hanya menengadahkan tangan, seharusnya orang tidak memberikan uang secara terpaksa bukan?

Seperti halnya berdo’a, dalam etika meminta sesuatu seharusnya seorang tidak patut untuk menampakkan dirinya tidak butuh akan hal yang diminta. Meski dalam hubungan kita dengan Tuhan kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari-Nya. Seperti istilah Abu Nawas, penyair timur yang “menipu” Tuhan dengan pujian dan doa.

Sebenarnya saya hanya menyampaikan ada kemiripan antara keduanya, meski saya tidak berani mengartikan bahwa berdoa sama dengan mengemis. Tetapi apakah iya mengemis sebegitu bersalahnya, sampai-sampai dibuatkan aturan tersendiri yang melarang mengemis, bahkan memberi uang pada pengemis? Padahal sebenarnya mengemis adalah pilihan terakhir seorang dalam menghadapi masalahnya. Maksud saya adalah mengemis dalam berbagai tipe, seperti pencalonan, promosi, atau pengajuan proposal dan lain-lain. Boleh orang menganggap bahwa pencalonan itu buruk, lalu bagaimana jika tidak ada yang mau mencalonkan diri umpamanya. Kita seakan gegabah menilai keburukan, sedangkan kita lupa memposisikan diri kita sendiri. Atau pengemis dalam artian sebenarnya, ada yang bilang pengemis mengganggu ketertiban, yang lain bilang pengemis itu sebetulnya kaya.

Suatu kali saya pernah juga berfikiran seperti itu, hingga akhirnya teman saya menyarankan saya untuk hidup di jalanan beberapa hari. Saya sanggupi saran itu untuk memenuhi kebutuhan empirik dan kepuasan saya pribadi menemukan sesuatu yang saya cari. Hampir setengah hari saya berjalan kaki, karena waktu itu dini hari dan jalanan sudah tidak ada kendaraan. Karena sudah merasa lelah dan waktu itu sedang di daerah persawahan saya memutuskan berhenti dan menunggu kendaraan lewat. Usai beberapa jam, saya mendapatkan tumpangan meski sebelumnya tidak ada kendaraan yang menggubris saya.

Dia memotong cerita saya disini, lalu bertanya “bagaimana rasanya saat kamu butuh lalu orang lain tidak menggubrismu?”. Jujur saya, sebenarnya saya mengumpat dalam hati dengan kekikiran mereka.

Barangkali orang-orang sudah lupa, kita hidup tidak lepas dari permohonan, mengemis dengan segala kesamaannya. Yang pandai  minta dihormati, yang kaya minta disegani, yang bodoh minta dihargai, yang miskin minta dikasihi.

Pernah saya nesu karena diberi uang saku sedikit oleh ayah, lalu ayah mengatakan “mending memberi uang kepada pengemis, cukup recehan tapi dapat doa naik haji”. 
Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment