Menabung Pangkal Kaya?

Sewaktu belajar tasawuf di pondok, saya sering mendengar istilah tawakal beserta penjelansanya, namun setelah itu hampir semua teman sekelas melakukannya. Bahkan, saat itu tawakal menjadi budaya di pondok saya. Tapi, budaya ini berbeda dengan yang diajarkan guru SD saya. Jika guru SD menganjurkan para siswanya agar rajin menabung, malah di pondok, saya menjalankan sebaliknya. Artinya, diantara teman kami percaya bila tidak ada uang yang sifatnya pribadi. Semua bisa memakai uang kiriman seseorang bila sedang butuh. 

Bukan hanya itu saja, untuk urusan makan, beberapa diantara kami percaya pada prinsip ”makan bareng, gak makan bareng”. Akibat budaya ini, uang saku yang dijatah oleh orang tua untuk satu bulan bisa ludes dalam dua minggu saja. Suatu ketika, saat seluruh teman saya sedang kere, saya kebetulan baru menerima jatah mingguan dari paman yang mengajar di pondok. Teman teman saya juga tau hari itulah jatah uang mingguan saya datang, karena mereka juga hafal tanggal jatah uang saku satu sama lain. 

”Jam itu kok mirip piring, ya? Jadi ingat rasanya pecel,” sindir salah satu teman. 
”Uang ini untuk biaya pulang,” jawab saya ketus. 
”Halah itukan urusan masa depan. Gak usah dipikir lah. Semua sudah ada yang ngurus.” 

Belum sempat saya menjawab, kawan saya sudah menodong saya dengan pertanyaan, “Kamu lebih percaya bila uang yang bisa membuat kamu pulang?” 

Setelah kejadian itu saya tidak pernah menunjukkan uang yang saya miliki di depan teman-teman saya agar tak ada yang tau kalau saya punya uang lebih. Selain itu, saya menghemat agar dapat menabung untuk bersenang-senang di kemudian hari. Beberapa hari kemudian, tanpa diduga uang yang saya simpan telah hilang. Memang saya tak koar-koar bila baru kehilangan uang. Karena sejak awal di pondok, saya sering kehilangan barang. Suatu ketka saat semua santri sedang liburan. Saya berada di pondok dengan teman yang kemarin memaksa dibelikan makanan. 

”Saya tau masalahmu, jangan terlalu dipikirkan. Dia tidak akan kembali karena kau pikirkan,” ucap kawan saya serius. 
”Maaf saya tidak bermaksud tidak mau menolongmu kemarin,” jawabku sekenanya. 
”Saya tidak mempermaslahkan hal itu, tapi saya harap kamu belajar dari masalahmu. Saya tau uang sakumu kemarin lebih dari cukup untuk sekedar biaya pulang. Kamu pernah ikut yasinan di kampung?”
”Iya, kenapa?”
”Di kampung biasanya setelah yasinan pasti ada beberapa makanan yang berbeda di bagikan kepada orang-orang yang menghadirinya. Saat kamu menginginkan salah satu makanan dari beberapa makanan yang dibagikan, tapi ternyata makanan itu jauh dari tempatmu duduk. Apa kamu masih memaksakan keinginanmu terpenuhi? Padahal sudah ada makanan di depanmu, hanya saja tidak sesuai dengan yang kau inginkan. Kau paham yang aku bicarakan?”
”Sebenarnya saya bingung sejak tadi.” \
Haduh, intnya jangan khawatir karena kehilangan sesuatu kau tidak akan dapat gantinya. Apalagi jika kau kehilangan karena kebaikan. Misalnya menolong temanmu. Mulailah belajar agar tidak berkeinginan berlebih. Masa depan yang tidak kau tau kejelasannya tidak usah kau pikirkan. Cukup belajarlah dari apa yang terjadi untuk merubah masa depanmu.” 

Sebenarnya tawakal yang saya ceritakan tadi tidak mengajarkan tentang menghambur-hamburkan uang. Saya akui memang terlihat sepert itu, tapi di sisi lain, dengan kebiasaan ini kami belajar tentang hakikat uang. Bahwasanya kegunaan uang bukan untuk disimpan. Tetapi dengan membiasakan hidup seperti itu, kita tidak akan terlalu menyesali keadaan jika suatu saat terjadi musibah. Sayang, dalam maknanya, tawakal hanya berarti pasrah. Inilah yang menyebabkan banyak orang mengira kalau pasrah dengan keadaan adalah tawakal. Sebenarnya isitlah tersebut hanya boleh digunakan setelah berusaha atau berikhtar. Menurut para ahli ekonomi modern, ada tiga motif seorang menyimpan uang: motif transaksi, motif berjaga-jaga, motif spekulasi. Diantara ketiga motif tersebut, hanya motif nomor tiga saja yang benar-benar dilarang. Karena memlipat-gandakan uang melalui bunga bank. Sedangkan motif pertama dan kedua hanya cara seseorang mengatur penggunaan uang. Selain itu, karena gaji yang diperoleh bukanlah gaji harian. Budaya menabung yang diterapkan ketika SD dapat berakibat fatal bagi anak. Ada kalanya seorang anak akan sangat menyukai hal yang baru pertama diketahuinya. Apalagi mendapat dorongan dari seorang guru. Padahal jika seorang anak yang masih sepenuhnya minta uang kepada orang tua dilatih untuk menabung, maka dia akan meminta jatah dua kali jatah biasanya. Serta dalam memenuhi kebutuhan sekolah pun dia tidak mau jika sampai saldo uangnya berkurang banyak. Secara tidak langsung dia diajarkan cinta pada uang dan menjadi anak yang kikir. Lain halnya apabila seseorang diajarkan untuk tawakal. Metode ini dianggap tepat karena dapat melatih seseorang agar menjadi seorang yang mawas diri. Serta tidak mudah terlarut dalam kesedihan jika mendapatkan suatu musibah. Dalam konteks ini, istilah ”menabung pangkal kaya” adalah doktrin usia dini yang membuat anak seusia mereka menjadi egois. Padahal anggapan bila ”kaya selalu diukur berdasarkan banyaknya tabungan” adalah pikiran yang sempit. Karena, menurut saya, kaya bisa berarti banyak hal.
Sebarkan:

2 comments: