Sarjana Pengangguran

Sampai saat ini pengangguran masih menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan. Meskipun sebagian besar lembaga pendidikan formal, terutama perguruan tinggi memiliki visi menjadikan lulusannya siap kerja, namun masih saja solusi tersebut tidak mengurangi angka pengangguran secara signifikan. Ironisnya, dalam beberapa kasus, lulusan perguruan tinggi malah menambah jumlah pengangguran. 

Memang, ada bagusnya jika pendidikan menerapkan sistem penjurusan seperti pada perguruan tinggi. Namun, lain lagi ceritanya jika penjurusan tersebut mengacuhkan bidang keilmuan di luar jurusan yang ditempuh. Sebab, banyak mahasiswa yang terkadang bingung dalam menentukan pekerjaan apa yang cocok dengan jurusannya. Karena kebingungan ini, pekerjaan yang digelutinya pun melenceng dari cabang keilmuan yang ditempuhnya. Itu pun hanya dapat tercapai jika orang tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai. 

Anehnya, banyak mahasiswa tidak sadar akan hal tersebut. Mereka menganggap kuliah cukup membantu memperoleh pekerjaan. Padahal dengan hanya mempelajari satu cabang keilmuan saja seseorang akan sulit menerima pandangan dari cabang keilmuan yang lain. Tanpa mereka sadari kuliah tidak menyediakan banyak hal. Di tangan anak didik sendirilah kemampuan tambahan tersebut bisa didapat. Misalnya melalui organisasi, ajang kompetisi, dan pergaulan dengan teman dari berbagai jurusan yang lain. 

Hal ini mengingat bahwa dalam perkuliahan hanya menyediakan materi kuliah. Sedang kelulusan hanya didasarkan pada absensi menghadiri kuliah dan nilai ujian yang tak lebih dari sebuah hafalan: Bukan pemahaman. Dalam konteks kuliah sudah terlihat bagaimana perkembangan mahasiswa jika hanya berputar-putar pada rutinitas tersebut. Kuliah, pulang, ujian, IPK keluar, liburan, kuliah lagi, ujian lagi, dan seterusnya. 

Bahkan salah satu dosen Sastra Inggris pun pernah mengakui hal ini. ”Di Indonesia setahu saya budaya keilmuaannya mengiblat pada budaya Barat, tetapi sebenarnya berbeda sekali. Sebab disana mahasiswa diharuskan mengembangkan tema bukan menghafal tema yang diajarkan”. Begitu kritiknya setelah beberapa tahun bersekolah di Australia. Bahkan lucunya dia juga mengatakan bahwa mahasiswa S2 dari sini sekelas dengan mahasiswa S1 disana. 

 Apalagi di Indonesia memiliki sedikit lowongan pekerjaan. Sebaliknya, investasi asing menguasai negeri kita. Maka wajar saja jika lulusan perguruan tinggi yang hanya fokus pada perkuliahan akan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Karena selain butuh yang terbaik, perusahaan juga butuh seseorang yang berpengalaman dalam bidangnya, bukan yang sekadar tahu akan bidangnya. 

Jika seorang lulusan Ilmu Komunikasi melamar sebagai fotografer di sebuah penerbitan, wajar saja jika perusahaan yang bersangkutan membutuhkan orang berpengalaman dengan bukti nyata di lapangan. Dan seandainya orang itu hanya fokus pada kuliahnya saja paling tidak dia hanya menggunakan kamera setahun dua kali; saat UTS dan UAS. Sedangkan untuk menjadi fotografer setidaknya dia menggunakan kamera 2 jam setiap harinya. 

Lain lagi ceritanya dengan mahasiswa Agroekoteknologi. Mahasiswa jurusan ini tidak perlu mencemaskan tentang praktek karena hampir setiap mata kuliahnya seringkali melaksanakan praktikum. Tetapi tetap saja, perlu adanya pengalaman yang mumpuni dalam bidang studi ini, mengingat seorang dosen kebanyakan hanya mengacu pada buku bacaan, sementara kondisi tanah pertanian setiap daerah berbeda-beda. 

 Dengan mempelajari banyak hal, dan tidak hanya terpaku pada program studi sendiri dapat meningkatkan pengalaman dan relasi yang lebih banyak. Dengan begitu, mahasiswa mampu belajar di luar perkuliahan formal melalui pertemanan dan pengalamannya sendiri. Sebab belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan pada siapa saja!
Sebarkan:

0 komentar:

Post a Comment