Guyonan yang Tidak Lucu


Sudah lama saya berhenti menulis, beberapa alasan selain malas sempat terpikir, dan itu yang saya jadikan alasan utama saya berhenti jika ditanya. Tapi kali ini saya tidak akan memakai alasan apapun untuk menulis lagi kecuali perasaan yang entah apa namanya dalam diri saya setelah seorang teman dekat saya benar-benar pergi. Tidak lama sebelum saya menulis ini, saya membaca “Awal dan Akhir” karya Naguib Mahfouz yang baru saja saya hentikan pada bagian pemakaman ayah Hasan sebelum kabar kepergian itu datang. Orang bisa menilai itu sebuah pertanda, tapi tetap saja bagiku kabar yang tiba-tiba itu mengejutkan sekali.

Sebelumnya saya belum pernah merenungkan kematian sedekat ini. Meskipun sering memikirkan bagaimana rasanya jika tiba-tiba itu datang kepadaku saat tua nanti. Saya membayangkan itu seolah-olah saya akan hidup selama itu hingga terus-menerus mengejar hal-hal yang nantinya tidak akan berarti lagi ketika kematian datang. Dulu kau selalu menunjukkan kepadaku sesuatu yang baru kau pelajari, bahkan setelah kepergianmu kau masih mencoba menunjukkan aku sesuatu yang berharga berupa kesadaran. 

Beberapa tahun lalu, di awal pertemuan kita semua, teman-teman dengan perawakan ‘unik’, kau mungkin yang paling wajar perawakannya sehingga kami belum menemukan julukan yang pas untukmu. Hingga kami anak-anak nakal yang menamakan diri sebagai penemu nama binatang buas merasa gagal atas hal itu. Semoga kau mau memaafkan kami atas itu, juga atas kenakalan kami terhadapmu. 

Seingatku di antara banyak kenakalan kami yang kurang dewasa itu, kau salah satu anak yang tergolong dewasa, untuk tidak mengikuti kebiasaan kami yang menganggap kenakalan adalah wajar bagi laki-laki. Lalu satu persatu peraturan di pesantren kami coba langgar satu-persatu, dan kau tetap pada dirimu seolah sudah lebih dulu tau. Beberapa dari kami melompati pagar pesantren untuk sekedar ke warung atau main PS, sedangkan kau cukup ijin dan keluar dengan tenang lewat pintu gerbang. Seandainya tidak sengaja kau melanggar peraturan pesantren, dengan alasan apapun kau mudah sekali dipercaya oleh pengurus karena citra baikmu, tidak seperti kami. Kelaki-lakian kami memang konyol. Sering menyebut sebuah kerepotan adalah tantangan sebagai lelaki, padahal yang dibutuhkan tidak lain hanyalah kepercayaan, sedang yang kami lakukan adalah perjuangan yang tidak ada gunanya. 

Adakah sebelum kepergianmu, wajah-wajah kami serta kebodohan kami yang mungkin meringankan kepergianmu dengan sedikit tawa? Semoga saja ingatan tentang kami tetap kau bawa dan sekali-kali mendatangi kami untuk membalas guyonan yang belum sempat kau balas dulu. Apalah artinya bercanda jika kau tidak membalasnya, bukankah kita selalu belajar untuk bercanda?

Untuk Nuris
Sebarkan:

Kopi dengan Cinta

Sulit ditemui lagi seorang wanita yang mau membuatkan kopi di pagi hari sebelum suaminya bangun tidur. Meski sebenarnya bangun pagi bukan perkara mudah bagi siapapun. Seakan-akan kesetiaan seorang istri tidak lagi diukur dari kepatuhannya terhadap suami, tapi cukup dengan kemauannya untuk tidur satu rumah. Dengan omongan yang diumbar orang-orang bule tentang kesetaraan gender membuat wanita menjadi semakin sulit untuk patuh. Apalagi dengan suami yang sama-sama lulusan kampus pinggiran.

Itulah salah satu sebabnya saya tidak mengharapkan beristri seorang yang mengaji buku-buku bule. Mengetahui bahwa wanita diajarkan untuk merasa ditindas dan direndahkan derajatnya jika mau menuruti kemauan suaminya begitu saja. Termasuk membuatkan kopi. Dilihat dari kemampuannya membuat kopi kadang tidak semua istri mampu membuat lebih enak dari janda di warung remang. Namun saya sungguh tidak percaya jika wanita akan ambil diam mengetahui suaminya tidak absen di warung tiap malam. Kadang tuntutan wanita terdengar lucu jika menginginkan suaminya kerasan di rumah. Tapi ketika minta dibuatkan kopi malah menolak.

Saya tidak memungkiri, terkadang kopi buatan wanita memang tidak selalu enak. Tapi mengetahui kopi itu dibuatkan saat sedang dibutuhkan, bukan lagi enak tidak enak yang dinilai. Kadang kepekaan wanita dan ketulusannya yang menjadi tolak ukur laki-laki kerasan. Juga sebuah penghargaan tersendiri dengan pekerjaan suami yang tidak seberapa hasilnya.

Dalam buku-buku itu menjelaskan fenomena semacam itu sebagai dominasi laki-laki pada kebudayaan yang beredar saat ini. Padahal dalam sejarahnya, tidak ada satupun diantara dua gender ini mempermasalahkan kesetaraan seperti sekarang ini. Seperti saat Sinta yang menyebabkan dua kerajaan bertempur hebat karena memperebutkan dirinya. Atau ketika Tribhuwana Tunggadewi dilantik menjadi ratu Majapahit. Malah sebenarnya yang mendominasi adalah wanita, mengingat bahwa dengan segala sifat kewanitaannya dia patut untuk dipertahankan meski dengan perang.

Gender yang seharusnya mencakup kelamin dan kodrat, berubah menjadi sebatas konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat untuk memperkuat bahwa sebenarnya laki-laki dan perempuan sama dalam hal apapun. Apa yang coba dibentuk oleh buku-buku ini adalah ketidak-percayaan terhadap perbedaan hak. Jadi bukan sebuah kesalahan jika wanita berkata kasar terhadap suaminya, karena keharusan wanita berkata halus kepada suami hanyalah konstruksi sosial. Jika perkara suami membentak istri maka istri seharusnya membentak balik, sebab antara laki-laki dan wanita adalah sama.

Saya sempat membayangkan kejadian ini, jika seorang istri yang menganggap hak-haknya dikendalikan oleh konstruksi masyarakat. Dan menganggap bahwa kodrat seorang wanita adalah sama dengan laki-laki. Bagaimana gaya hubungan badan nantinya jika keduannya sama-sama menginginkan posisi diatas. Sedangkan dalam kegiatan ini memerlukan kekompakan khusus dengan tipe gaya apapun, dalam artian tidak ada kesamaan posisi.

Dalam kehidupan desa di hampir keseluruhan Jawa, saya kira tidak ada wanita yang mempermasalahkan kesetaraan seperti ini. Tidak seperti kehidupan priyayi di Jawa seperti era Kartini. Dalam kehidupan desa yang terbatas, seorang wanita tidak mempermasalahkan nyambi keja dan mengatur rumah tangga sekaligus. Jika terus menerus menolak tentang konstruksi masyarakat lalu siapa lagi yang akan mengerjakan perihal rumah tangga.

Pada hakikatnya konstruksi masyarakat tidak lain adalah semacam pembagian tugas dalam berumah tangga. Ibaratnya kewajiban seorang suami adalah melakukan segala hal dalam kehidupan rumah tangga, termasuk bekerja untuk keluarga dan bertanggung jawab atas segala hal dalam rumah. Sedangkan istri yang diibaratkan tulang rusuk hanya sebatas mendampingi bukan menopang atau bertanggung jawab. Mendampingi suami juga bisa berarti banyak seperti meringankan pekerjaan suami dengan ikut andil dalam sebagian kewajiban suami atau patuh terhadap suami. Memang dipandang dari segi apapun hal ini tidak bisa setara seperti kodrat seorang wanita yang bisa melahirkan dan laki-laki yang tidak. seperti halnya kodrat wanita yang bisa menyusui dan laki-laki tidak bisa, meski sama-sama memilki puting. Apakah hal semacam ini akan kita tuntut?


Di era sekarang yang mengukur kesuksesan berdasarkan gaji juga berdampak pada tuntutan yang berbeda dibandingkan tuntutan kesetaraan hak pendidikan yang dikoar-koarkan beberapa puluh tahun yang lalu. Karena jika wanita memiliki gaji lebih tinggi daripada suaminya, bukan lagi kesetaraan yang diharapkan, tapi dominasi dalam rumah tangga. Tidak lagi buat kopi untuk diri sendiri tapi, “buatin kopi mas”.
Sebarkan:

Buang Kotorannya Penulis


Menulis adalah hal yang tidak saya sukai sejak beberapa tahun lalu saya mengenal kepenulisan. Menurut saya menulis adalah hal yang paling tidak bebas, kita harus ditentukan oleh berbagai aturan sistematika atau hal semacam aturan menulis yang baik dan benar. Tapi anehnya saya selalu tertarik oleh gaya bicara seorang penulis yang unik – ketika tidak berbicara tentang kepenulisan tentunya. Itulah yang membuat saya selalu “terjebak” untuk harus menulis. Penulis manapun yang saya kagumi selalu saja menjurus pada perintah menulis.

Pada awal menulis saya salah sangka, menulis adalah hal yang paling bebas. Kira-kira Gus Mus pernah mengatakan ketika ditanya mengapa ia menulis “Sastrawan itu tidak pernah salah, pembacalah yang menyalahkan dirinya sendiri ketika tidak dapat memahami tulisan seorang sastrawan”. Sadar atau tidak, ada kebebasan menulis dalam perkataan itu. Apapun yang ditulis oleh sastrawan, sedikit banyak pastilah berpengaruh kepada pembaca. Orang sadar hal tersebut, “sastrawan tidak pernah salah” meskipun kadang beberapa pembaca mempunyai sudut pandang yang berbeda, tapi bukankah perbedaan itu bukan sebuah kesalahan?
Lama hidup dengan orang-orang yang bisa menulis dengan baik, saya mengerti kebebasan menulis ini baik untuk si penulis. Tapi bisa jadi tidak untuk si pembaca. Malah ada ungkapan “jika gelisah maka menulislah”. Si penulis senang-senang saja mempunyai teman berbicara meski dengan berbicara satu arah.
Terkadang dalam menuliskan kegelisahan kita seakan “diperas” baik rasa gelisah itu maupun ingatan-ingatan yang sebenarnya tidak penting untuk diingat. Tapi terkadang ingatan itulah solusinya. Itupun jika si penulis menemukan solusinya, jika tidak, bersabarlah pembaca kalau memang harus mengkonsumsi tulisan kegelisahan. Istilahnya menulis itu seperti buang kotoran, yang didapat si penulis dari mengamati atau sekedar membaca. Bisa jadi dari pengamatan terhadap keadaan sekitarnya penulis menemukan kejanggalan atau aturan yang membatasi yang menjadikannya gelisah. Biasanya seorang penulis adalah seorang yang mudah bosan, termasuk dengan aturan-aturan. Itulah penyebab dia menulis hal-hal yang sebenarnya adalah pelanggaran dalam kehidupan sosial. Seperti menggambarkan perasaan membunuh seseorang atau sekedar mengencingi gedung pemerintahan.
Masalahnya, jika menulis adalah pelampiasan kegelisahan, betapa sial nasib pembacanya. Apalagi jika memang tulisan itu berpengaruh bagi kehidupan pembaca. Dalam kasus ini, banyak juga kawan saya yang mengaku-ngaku dirinya sebagai Annelies usai membaca roman Bumi Manusia. Itu mungkin kasus yang tidak prinsipil, tapi anggap saja itu contoh kecil dari pengaruh tulisan.
Karya tulis adalah salah satu media yang dianggap paling berpengaruh akhir-akhir ini. Bahkan mungkin sejak manusia mengenal tulis-menulis. Membaca mungkin adalah pekerjaan paling mudah, pekerjaan itu cukup dilakukan disela-sela waktu, tidak butuh banyak energi untuk berpikir. Setidaknya banyak yang menganggap seperti itu. Tapi sadar atau tidak bahwa pembaca adalah yang penikmat. Seperti halnya makanan, apapun yang dimakan pasti akan berpengaruh terhadap tubuh atau bahkan perilaku. Jika tulisan adalah gambaran dari kegelisahan penulis, bukankah itu sedikit berarti sampah pikiran?

Membaca tidak sebegitu sederhana, membaca berarti mencerna, membaca juga berarti belajar memposisikan diri. Tidak asal menelan mentah-mentah suatu bacaan juga tidak menolak begitu saja karena berbeda dengan pendirian kita. Setidaknya seburuk-buruknya tulisan bisa kita ambil sedikit hal baik darinya untuk diri sendiri. Apakah kita lupa bahwa ilmu bisa datang dari mana saja, termasuk setan?

Dengan begini tulisan yang berpengaruh “liar” pada pembaca bisa sedikit diminimalisir. Pengaruh yang ditimbulkan tulisan saat ini biasa menjadi pengaruh baik maupun buruk. Jangan bilang bila baik dan buruk adalah relatif, itu adalah pikiran purba. Sejak jaman Sokrates kebenaran umum sudah ditetapkan layak adanya, bukankah begitu?


Jika tulisan berupa karya sastra narasi atau deskriptif berpengaruh, lalu bagaimana jika tulisan berupa puisi yang pembaca saja kadang tidak paham?
Sebarkan:

Recehan dan Do'a Naik Haji


Baru-baru ini surat kabar di Indonesia dihebohkan dengan datangnya bule yang mengemis. Kabarnya, orang-orang merasa iba melihatnya tidak bisa kembali ke negara asalnya, karena banyak yang iba banyak juga pendapatan bule ini. Lalu beberapa minggu kemudian orang mulai tau bahwa, pengemis yang beberapa hari sebelumnya sempat disorot oleh surat kabar ini ternyata membohongi mereka. Beberapa orang mulai percaya bahwa peraturan yang melarang mengemis itu ada benarnya juga.

Sebenarnya lucu juga melihat orang mengumpat karena rasa iba mereka. Bagaimana tidak, pengemis yang hanya duduk di pinggir jalan dengan memamerkan penyakitnya mereka anggap mengganggu ketertiban. Sebab beberapa pengendara berhenti dan mencoba membantunya. Lalu mereka merasa rugi telah membantunya, karena seperti yang diketahui, pengemis itu menggunakan uangnya untuk bersenang-senang. Bisa jadi mereka merasa rugi karena telah berempati a tau mereka merasa rugi karena telah bersimpati.

Aneh bukan, jika orang harus marah karena seharusnya mereka berempati karena sukarela. Wong pengemisnya saja tidak minta, dia hanya menengadahkan tangan, seharusnya orang tidak memberikan uang secara terpaksa bukan?

Seperti halnya berdo’a, dalam etika meminta sesuatu seharusnya seorang tidak patut untuk menampakkan dirinya tidak butuh akan hal yang diminta. Meski dalam hubungan kita dengan Tuhan kita tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari-Nya. Seperti istilah Abu Nawas, penyair timur yang “menipu” Tuhan dengan pujian dan doa.

Sebenarnya saya hanya menyampaikan ada kemiripan antara keduanya, meski saya tidak berani mengartikan bahwa berdoa sama dengan mengemis. Tetapi apakah iya mengemis sebegitu bersalahnya, sampai-sampai dibuatkan aturan tersendiri yang melarang mengemis, bahkan memberi uang pada pengemis? Padahal sebenarnya mengemis adalah pilihan terakhir seorang dalam menghadapi masalahnya. Maksud saya adalah mengemis dalam berbagai tipe, seperti pencalonan, promosi, atau pengajuan proposal dan lain-lain. Boleh orang menganggap bahwa pencalonan itu buruk, lalu bagaimana jika tidak ada yang mau mencalonkan diri umpamanya. Kita seakan gegabah menilai keburukan, sedangkan kita lupa memposisikan diri kita sendiri. Atau pengemis dalam artian sebenarnya, ada yang bilang pengemis mengganggu ketertiban, yang lain bilang pengemis itu sebetulnya kaya.

Suatu kali saya pernah juga berfikiran seperti itu, hingga akhirnya teman saya menyarankan saya untuk hidup di jalanan beberapa hari. Saya sanggupi saran itu untuk memenuhi kebutuhan empirik dan kepuasan saya pribadi menemukan sesuatu yang saya cari. Hampir setengah hari saya berjalan kaki, karena waktu itu dini hari dan jalanan sudah tidak ada kendaraan. Karena sudah merasa lelah dan waktu itu sedang di daerah persawahan saya memutuskan berhenti dan menunggu kendaraan lewat. Usai beberapa jam, saya mendapatkan tumpangan meski sebelumnya tidak ada kendaraan yang menggubris saya.

Dia memotong cerita saya disini, lalu bertanya “bagaimana rasanya saat kamu butuh lalu orang lain tidak menggubrismu?”. Jujur saya, sebenarnya saya mengumpat dalam hati dengan kekikiran mereka.

Barangkali orang-orang sudah lupa, kita hidup tidak lepas dari permohonan, mengemis dengan segala kesamaannya. Yang pandai  minta dihormati, yang kaya minta disegani, yang bodoh minta dihargai, yang miskin minta dikasihi.

Pernah saya nesu karena diberi uang saku sedikit oleh ayah, lalu ayah mengatakan “mending memberi uang kepada pengemis, cukup recehan tapi dapat doa naik haji”. 
Sebarkan:

Menabung Pangkal Kaya?

Sewaktu belajar tasawuf di pondok, saya sering mendengar istilah tawakal beserta penjelansanya, namun setelah itu hampir semua teman sekelas melakukannya. Bahkan, saat itu tawakal menjadi budaya di pondok saya. Tapi, budaya ini berbeda dengan yang diajarkan guru SD saya. Jika guru SD menganjurkan para siswanya agar rajin menabung, malah di pondok, saya menjalankan sebaliknya. Artinya, diantara teman kami percaya bila tidak ada uang yang sifatnya pribadi. Semua bisa memakai uang kiriman seseorang bila sedang butuh. 

Bukan hanya itu saja, untuk urusan makan, beberapa diantara kami percaya pada prinsip ”makan bareng, gak makan bareng”. Akibat budaya ini, uang saku yang dijatah oleh orang tua untuk satu bulan bisa ludes dalam dua minggu saja. Suatu ketika, saat seluruh teman saya sedang kere, saya kebetulan baru menerima jatah mingguan dari paman yang mengajar di pondok. Teman teman saya juga tau hari itulah jatah uang mingguan saya datang, karena mereka juga hafal tanggal jatah uang saku satu sama lain. 

”Jam itu kok mirip piring, ya? Jadi ingat rasanya pecel,” sindir salah satu teman. 
”Uang ini untuk biaya pulang,” jawab saya ketus. 
”Halah itukan urusan masa depan. Gak usah dipikir lah. Semua sudah ada yang ngurus.” 

Belum sempat saya menjawab, kawan saya sudah menodong saya dengan pertanyaan, “Kamu lebih percaya bila uang yang bisa membuat kamu pulang?” 

Setelah kejadian itu saya tidak pernah menunjukkan uang yang saya miliki di depan teman-teman saya agar tak ada yang tau kalau saya punya uang lebih. Selain itu, saya menghemat agar dapat menabung untuk bersenang-senang di kemudian hari. Beberapa hari kemudian, tanpa diduga uang yang saya simpan telah hilang. Memang saya tak koar-koar bila baru kehilangan uang. Karena sejak awal di pondok, saya sering kehilangan barang. Suatu ketka saat semua santri sedang liburan. Saya berada di pondok dengan teman yang kemarin memaksa dibelikan makanan. 

”Saya tau masalahmu, jangan terlalu dipikirkan. Dia tidak akan kembali karena kau pikirkan,” ucap kawan saya serius. 
”Maaf saya tidak bermaksud tidak mau menolongmu kemarin,” jawabku sekenanya. 
”Saya tidak mempermaslahkan hal itu, tapi saya harap kamu belajar dari masalahmu. Saya tau uang sakumu kemarin lebih dari cukup untuk sekedar biaya pulang. Kamu pernah ikut yasinan di kampung?”
”Iya, kenapa?”
”Di kampung biasanya setelah yasinan pasti ada beberapa makanan yang berbeda di bagikan kepada orang-orang yang menghadirinya. Saat kamu menginginkan salah satu makanan dari beberapa makanan yang dibagikan, tapi ternyata makanan itu jauh dari tempatmu duduk. Apa kamu masih memaksakan keinginanmu terpenuhi? Padahal sudah ada makanan di depanmu, hanya saja tidak sesuai dengan yang kau inginkan. Kau paham yang aku bicarakan?”
”Sebenarnya saya bingung sejak tadi.” \
Haduh, intnya jangan khawatir karena kehilangan sesuatu kau tidak akan dapat gantinya. Apalagi jika kau kehilangan karena kebaikan. Misalnya menolong temanmu. Mulailah belajar agar tidak berkeinginan berlebih. Masa depan yang tidak kau tau kejelasannya tidak usah kau pikirkan. Cukup belajarlah dari apa yang terjadi untuk merubah masa depanmu.” 

Sebenarnya tawakal yang saya ceritakan tadi tidak mengajarkan tentang menghambur-hamburkan uang. Saya akui memang terlihat sepert itu, tapi di sisi lain, dengan kebiasaan ini kami belajar tentang hakikat uang. Bahwasanya kegunaan uang bukan untuk disimpan. Tetapi dengan membiasakan hidup seperti itu, kita tidak akan terlalu menyesali keadaan jika suatu saat terjadi musibah. Sayang, dalam maknanya, tawakal hanya berarti pasrah. Inilah yang menyebabkan banyak orang mengira kalau pasrah dengan keadaan adalah tawakal. Sebenarnya isitlah tersebut hanya boleh digunakan setelah berusaha atau berikhtar. Menurut para ahli ekonomi modern, ada tiga motif seorang menyimpan uang: motif transaksi, motif berjaga-jaga, motif spekulasi. Diantara ketiga motif tersebut, hanya motif nomor tiga saja yang benar-benar dilarang. Karena memlipat-gandakan uang melalui bunga bank. Sedangkan motif pertama dan kedua hanya cara seseorang mengatur penggunaan uang. Selain itu, karena gaji yang diperoleh bukanlah gaji harian. Budaya menabung yang diterapkan ketika SD dapat berakibat fatal bagi anak. Ada kalanya seorang anak akan sangat menyukai hal yang baru pertama diketahuinya. Apalagi mendapat dorongan dari seorang guru. Padahal jika seorang anak yang masih sepenuhnya minta uang kepada orang tua dilatih untuk menabung, maka dia akan meminta jatah dua kali jatah biasanya. Serta dalam memenuhi kebutuhan sekolah pun dia tidak mau jika sampai saldo uangnya berkurang banyak. Secara tidak langsung dia diajarkan cinta pada uang dan menjadi anak yang kikir. Lain halnya apabila seseorang diajarkan untuk tawakal. Metode ini dianggap tepat karena dapat melatih seseorang agar menjadi seorang yang mawas diri. Serta tidak mudah terlarut dalam kesedihan jika mendapatkan suatu musibah. Dalam konteks ini, istilah ”menabung pangkal kaya” adalah doktrin usia dini yang membuat anak seusia mereka menjadi egois. Padahal anggapan bila ”kaya selalu diukur berdasarkan banyaknya tabungan” adalah pikiran yang sempit. Karena, menurut saya, kaya bisa berarti banyak hal.
Sebarkan:

Sarjana Pengangguran

Sampai saat ini pengangguran masih menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan. Meskipun sebagian besar lembaga pendidikan formal, terutama perguruan tinggi memiliki visi menjadikan lulusannya siap kerja, namun masih saja solusi tersebut tidak mengurangi angka pengangguran secara signifikan. Ironisnya, dalam beberapa kasus, lulusan perguruan tinggi malah menambah jumlah pengangguran. 

Memang, ada bagusnya jika pendidikan menerapkan sistem penjurusan seperti pada perguruan tinggi. Namun, lain lagi ceritanya jika penjurusan tersebut mengacuhkan bidang keilmuan di luar jurusan yang ditempuh. Sebab, banyak mahasiswa yang terkadang bingung dalam menentukan pekerjaan apa yang cocok dengan jurusannya. Karena kebingungan ini, pekerjaan yang digelutinya pun melenceng dari cabang keilmuan yang ditempuhnya. Itu pun hanya dapat tercapai jika orang tersebut memiliki kemampuan dan keterampilan yang memadai. 

Anehnya, banyak mahasiswa tidak sadar akan hal tersebut. Mereka menganggap kuliah cukup membantu memperoleh pekerjaan. Padahal dengan hanya mempelajari satu cabang keilmuan saja seseorang akan sulit menerima pandangan dari cabang keilmuan yang lain. Tanpa mereka sadari kuliah tidak menyediakan banyak hal. Di tangan anak didik sendirilah kemampuan tambahan tersebut bisa didapat. Misalnya melalui organisasi, ajang kompetisi, dan pergaulan dengan teman dari berbagai jurusan yang lain. 

Hal ini mengingat bahwa dalam perkuliahan hanya menyediakan materi kuliah. Sedang kelulusan hanya didasarkan pada absensi menghadiri kuliah dan nilai ujian yang tak lebih dari sebuah hafalan: Bukan pemahaman. Dalam konteks kuliah sudah terlihat bagaimana perkembangan mahasiswa jika hanya berputar-putar pada rutinitas tersebut. Kuliah, pulang, ujian, IPK keluar, liburan, kuliah lagi, ujian lagi, dan seterusnya. 

Bahkan salah satu dosen Sastra Inggris pun pernah mengakui hal ini. ”Di Indonesia setahu saya budaya keilmuaannya mengiblat pada budaya Barat, tetapi sebenarnya berbeda sekali. Sebab disana mahasiswa diharuskan mengembangkan tema bukan menghafal tema yang diajarkan”. Begitu kritiknya setelah beberapa tahun bersekolah di Australia. Bahkan lucunya dia juga mengatakan bahwa mahasiswa S2 dari sini sekelas dengan mahasiswa S1 disana. 

 Apalagi di Indonesia memiliki sedikit lowongan pekerjaan. Sebaliknya, investasi asing menguasai negeri kita. Maka wajar saja jika lulusan perguruan tinggi yang hanya fokus pada perkuliahan akan kesulitan dalam mencari pekerjaan. Karena selain butuh yang terbaik, perusahaan juga butuh seseorang yang berpengalaman dalam bidangnya, bukan yang sekadar tahu akan bidangnya. 

Jika seorang lulusan Ilmu Komunikasi melamar sebagai fotografer di sebuah penerbitan, wajar saja jika perusahaan yang bersangkutan membutuhkan orang berpengalaman dengan bukti nyata di lapangan. Dan seandainya orang itu hanya fokus pada kuliahnya saja paling tidak dia hanya menggunakan kamera setahun dua kali; saat UTS dan UAS. Sedangkan untuk menjadi fotografer setidaknya dia menggunakan kamera 2 jam setiap harinya. 

Lain lagi ceritanya dengan mahasiswa Agroekoteknologi. Mahasiswa jurusan ini tidak perlu mencemaskan tentang praktek karena hampir setiap mata kuliahnya seringkali melaksanakan praktikum. Tetapi tetap saja, perlu adanya pengalaman yang mumpuni dalam bidang studi ini, mengingat seorang dosen kebanyakan hanya mengacu pada buku bacaan, sementara kondisi tanah pertanian setiap daerah berbeda-beda. 

 Dengan mempelajari banyak hal, dan tidak hanya terpaku pada program studi sendiri dapat meningkatkan pengalaman dan relasi yang lebih banyak. Dengan begitu, mahasiswa mampu belajar di luar perkuliahan formal melalui pertemanan dan pengalamannya sendiri. Sebab belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan pada siapa saja!
Sebarkan: